Saturday

#ReadbyDis : The Book You Want Everyone You Love To Read (2023)

 



Hi, Insight Seekers!

Ulasan buku kali ini datang Philippa Perry, seorang psikiater dan juga penulis dari salah satu buku favorite gue, The Book You Wish Your Parents Had Read yang sudah pernah gue ulas juga sebelumnya. Pengemasan buku ini hampir mirip dengan buku sebelumnya, pembahasan yang terstruktur dan detail, sebagai jawaban dari pertanyaan yang diberikan kepada Perry. Jika dalam buku The Book You Wish Your Parents Had Read, Perry lebih fokus dalam hubungan orang tua dan anak, dalam buku ini Perry membahas hubungan itu sendiri secara general, hubungan kita sebagai orang dewasa, dengan diri sendiri dan orang-orang di sekitar.

Dalam introduction nya, Perry menjelaskan bahwa dalam menghadapi apa yang terjadi dalam hidup ini, kita sering kali bertanya 'Why?' . Mengapa suatu hal terjadi pada kita? Mengapa pasangan kita begini? Mengapa orang tua kita begitu? Dan berbagai pertanyaan mengapa lainnya. Hal ini terjadi karena kita senang dengan sebuah narasi, kita butuh penjelasan sejelas-jelasnya atas apa yang terjadi, atau atas perilaku orang lain terhadap kita. Perry menyarankan, dibandingkan dengan bertanya 'Mengapa', akan lebih baik jika kita bertanya 'Bagaimana'. Bagaimana kita merasakan apa yang kita rasakan? Bagaimana kita memberikan atas suatu hal yang terjadi, atau atas perilaku orang lain? Pertanyaan 'bagaimana' juga menekankan bahwa kita memiliki kontrol penuh atas respon dan perasaan yang ingin kita berikan terhadap suatu hal. Dan dari hubungan yang kita bangun dengan orang-orang di sekitar kita, yang bisa kita kontrol hanyalah diri kita sendiri, jadi sebaiknya daripada kita terlalu memikirkan 'mengapa', yang tidak bisa kita kontrol, lebih baik kita memikirkan si 'bagaimana' itu sendiri. Untuk membantu kita menjawab pertanyaan 'bagaimana' tersebut, Perry membagi buku ini menjadi 4 bagian ; How We Love, How We Argue, How We Change, dan How We Find Contentment. 

Dalam setiap bagian nya, Perry memberikan banyak penjelasan, yang dilengkapi dengan berbagai contoh kasus yang sangat relatable dengan kehidupan sehari-hari. Tentang membangun hubungan yang sehat, tentang menghadapi konflik baik dengan orang lain maupun dengan diri sendiri, tentang menghadapi perubahan baik yang kita rencanakan maupun yang tidak kita rencanakan, dan tentunya bagaimana kita bisa menemukan inner peace dan makna kehidupan itu sendiri, 

Insight!

"If you are going to have fantasy, make it a good one. Which fantasy you have trained yourself to believe will impact what your energy is like with other people and what they will pick you up on when they are with you."

"Our challenge is to not lose put faith in the inherent goodness of most people. Not all humans are all bad, and some of them are really great and will be fun and interesting"

Dari sekian banyak hal yang dibahas dalam chapter 1 : How We Love, gue akan memulainya dengan satu poin yang ringan, tapi menurut gue, poin ini sangat penting sebelum masuk ke poin-poin selanjutnya. Semakin dewasa, mungkin banyak kesedihan dan kekecewaan yang pernah kita dapatkan dari orang lain, sehingga seringkali kita terlalu berwaspada dan menggenarilisir bahwa semua orang itu jahat, atau semua orang itu menyebalkan. Namun, penting untuk selalu menyisakan ruang untuk percaya bahwa tidak semua orang akan menyakiti kita. Sisakan ruang bahwa ada begitu banyak orang baik dan menyenangkan yang akan kita temui, serta begitu banyak interaksi dan hubungan menyenangkan yang bisa kita bangun dengan orang-orang tersebut Hal ini sangat berguna, karena inilah salah satu hal yang membuat gue bisa memiliki hubungan baik dengan banyak orang ; Gue percaya dengan kebaikan orang, bahwa setiap orang pasti memiliki sisi baik dan menyenangkan. Bagaimana kita memandang orang akan memengaruhi energi yang kita berikan dalam sebuah interaksi dengan orang lain, dan energi itulah yang akhirnya juga memengaruhi bagaimana orang lain memperlakukan kita. 

"Diaphobia; a fear of true dialogue. The fear of being impacted upon or influenced by another person. To surrender is to let go of that fear. To surrender is also to offer something of yourself to the other without knowing how it will land with them. It means lowering your guard, allowing yourself to be vulnerable. It means surrendering to inevitability that other people will not see you as you might want to be seen. It means not demanding of them that they see you as this or that, not focusing on what you're going to say next while someone is talking. Instead, surrendering is opening yourself up to how their words may affect and change you. When you surrender to a conversation you don't know where it will lead because you are open to any outcome. It also means allowing and trusting others to be as they are".

Ah, ini menyentil gue pribadi sebagai si Avoidant yang seringkali menghindari awkward conversation atau percakapan dengan yang 'terlalu serius'. Mungkin iya ada benarnya, bahwa gue menghindari hal ini karena gue terlalu memberi batasan agar orang cukup melihat gue seperti bagaimana gue ingin dilihat saja, dan memberi batasan kepada diri sendiri agar tidak membiarkan orang lain memengaruhi gue. Pembahasan tentang Surrender ini menarik banget, something that I really work on.

"It may be easier to understand another's experience if you can see that we each have a dominant - or preferred - way of coping, These are usually thinking, feeling, or doing. Some of us like to think our way to out of trouble. Others need to explore their feeling first. And others go straight into action mode. I imagine these tree ways of being as doors, and what we need to know is which are open, which are closed, and which are locked."

Di awal chapter  2 : How We Argue, kita akan diajak mengenal dulu bahwa konflik sering terjadi karena perbedaan cara orang dalam menghadapi suatu masalah. Dalam pembahasan ini, gue cukup banyak berefleksi, karena mungkin gue seringkali berusaha memberikan saran kepada orang untuk membuka 'pintu' yang sama dengan gue, tanpa berfikir mungkin 'pintu' yang selama ini gue buka adalah 'pintu' yang orang lain tutup. Just because it works well on me, doesn't mean it will work  well on others. Jadi, dibanding kita berupaya keras untuk memaksakan cara kita kepada orang lain, lebih baik kita berusaha mengenal dan mengerti bagaimana cara yang biasa mereka gunakan dan gunakan cara tersebut dalam berargumen. 

"When we focus on logic rather than feelings, we can fall into a game of what I like to call fact tennis. Fact tennis is when two people in argument are lobbing reasons and facts over the net to each other, finding more and more to hit the other person with. The aim becomes point scoring rather than finding a workable solution.

Put aside rights and wrongs, don't seek to blame and/or get an apology, but try instead to understand. Being right is overrated."

HEHEHE lagi-lagi merasa tersentil :) Saat berargumen, kita harus sadar bahwa kita tidak sedang mencari pemenang, tidak sedang mencari pembuktian siapa yang lebih pandai berdebat, namun mencari solusi untuk kebaikan bersama. Kita tidak perlu menjadi si-yang-paling-benar, tapi jadilah orang yang bisa mengerti . Kalau menurut quotes yang sering gue dengar, 'It's not about me vs you, it's us vs the problem'. 

"When people are stuck, often I find they don't know they have a choice about how they respond to their world. Life simply appears to happen to them without them having to take responsibility for their actions or inaction, and for the subsequent consequences. It is like they are stuck in the back seat of their life, unhappy that the driver isn't taking them to where they want to go. 

"Certain experiences can cause us to develop a victim mentality.... One of the indicators of victim-mode is giving a list of reasons why any solution offered to us will not work, so people who try to help us are left confused or frustrated. There are no advantages to being a victim, but there are to being stuck in victim-mode, such as not having to take responsibility for things that happen in our lives and blaming everything bad on other people's action"

Chapter 3 : How We Change is probably my favorite chapter. Mungkin di usia akhir 20-an ini, seringkali kita merasa stuck, baik dalam karir, pengembangan diri, hubungan, atau dalam aspek apapun itu. Namun jangan sampai membuat kita lupa, bahwa sebenarnya kita selalu memiliki pilihan untuk bergerak. Penggunaan kursi penumpang ini membuatnya lebih mudah untuk dimengerti. Kita bukanlah penumpang yang akan membiarkan hidup kita 'disetir' oleh orang lain, kita lah yang memiliki power untuk menyetirnya. Kita yang memiliki pilihan untuk belok ke kanan, atau ke kiri, mencoba rute lain yang mungkin belum pernah kita coba sebelumnya, atau bahkan kita memiliki pilihan untuk mengganti destinasinya. 

Jika merasa kurang mampu dalam menyetirnya, berlatih dan belajarlah terus. Jika merasa kebingungan, bertanyalah pada banyak orang yang ditemui di sepanjang jalan. Jika kita terbiasa untuk tidak 'menyetir' nya sendiri, kita akan merasa bahwa ketika kita terjebak macet, menemukan jalan yang berlubang, terlambat sampai ke tujuan, dan hal-hal buruk lainnya, adalah hal yang disebabkan karena kesalahan orang lain, atau karena takdir buruk yang menempatkan kita pada keadaan tersebut. Dan kita hanyalah korban dari orang lain dan takdir buruk tersebut. 

"We fear making the wrong choice. It feels like we might avoid mistakes if we don't make decisions. But not making decisions is still choice and it may, like other choices, be the wrong one. I believe it is impossible to really know whether a choice is the right one without hindsight -- and none of us has that. Mistakes and failure are necessary in order to grow. In psychotherapy we call them "another bloody fucking learning opportunity."

Ah, bagus banget! Kita harus sadar, bahwa ketika kita tidak mengambil keputusan untuk berubah, itu adalah sebuah pilihan yang kita ambil. Kita memilih untuk tidak mengambil keputusan untuk berubah. Jika ada risiko yang kita hadapi ketika kita mengambil keputusan untuk berubah, maka bersiaplah juga untuk risiko yang kita hadapi saat kita memilih untuk tidak mengambil keputusan untuk berubah. 

"The main thing to remember is that change takes practice. It might not feel right at the start because it won't feel familiar, and we mistake familiarity for truth. What is familiar and comfortable feels right, even if it harms us. "

Salah satu hal yang sering dibahas Perry dalam buku ini adalah tentang familiarity itu sendiri. Gue pernah mendengar salah satu insight menarik dalam podcast Raditya Dika dengan seorang psikolog, Nago Tejena , saat ada pertanyaan mengapa orang memilih untuk bertahan terus-menerus dalam sebuah toxic relationship, dan dijawab dengan jawaban yang menurut gue, makes sense but painful at the same time, yakni  karena orang cenderung memilih merasakan 'luka yang familiar' dibandingkan dengan berubah ke kondisi yang mungkin lebih baik, namun terasa tidak familiar. Mereka tidak memiliki bayangan akan seperti apa kondisi baru tersebut, role baru yang harus dijalani, atau label baru yang diberikan orang sekitar. Jika toxic relationship adalah kondisi yang terlalu berat, mungkin kita juga menerapkan ini dalam aspek karir yang sebenrnya kita merasa stuck dalam suatu pekerjaan, namun kita memilih untuk tidak mencari pekerjaan baru, karena sudah terlalu nyaman dengan familiarity yang kita miliki di tempat kerja tersebut. 

"If you feel stuck in the obsessional stage you can move beyond it by controlling where and when you let it out. You do this by setting a timetable for it. Weep, rage, and mourn at the same time every day for half an hour, In fact, you must mourn and grieve then, even if you don't feel like it. Reminisce about the way life used to be. You could make a shrine, light a candle, weep, write a love letter that you will never send -- anything -- but no more than half an hour a day and only at your allotted time. Be strict, set alarms. In this way while you are having your feelings and working through them you are also gaining control of them."

Pembahasan ini dalam konteks menghadapi perubahan yang terjadi karena berakhirnya sebuah hubungan. Walau tidak se-proper poin di atas dalam membuat 'jadwal' dalam meluapkan emosi, percayalah gue juga melakukan hal ini saat ada di fase life after break up beberapa tahun lalu. Gue memperbolehkan diri gue untuk meluapkan semua emosi yang ada, tapi gue memiliki kontrol penuh terhadap kapan, di mana, dan bagaimana semua emosi itu diluapkan. Pada akhirnya, kemampuan untuk mengontrol emosi itu menjadi sesuatu yang memberikan banyak manfaat untuk gue hingga sekarang. 

"There is the difference between saying 'I am scared' and 'I feel scared' . 'I am scared' is defining a whole person whereas with 'I feel scared', there is part of the person that is sitting back and observing, and therefor still available to make a decision. We can take our feelings into account, without being merely a reaction to those feelings.

So how can we develop our observer part? I recommend keeping a journal of moods, sensations, and observations. This is a part of you which simply observes the different emotions and sensations you have -- not part of your gratitude, or your anxiety, or your love, or your fear. Speak from this part. This means instead of saying 'I am anxious;, you'll say 'I notice I am feeling anxious'. Create a sense of distance between you and your negative feelings."

"The critical voice, on the other hand, makes criticisms that are blunt and general. It doesn't say useful stuff like 'you put too much copper oxide into that glaze so it came out black instead of green', it says instead 'you're useless, you'll never be any good at pottery'. That's how you know it's your inner circle talking, and that you need to distance yourself from it."

Ini ada kaitannya dengan buku Merawat Luka Batin bagian memisahkan antara diri kita dan pikiran kita. Pikiran kita bukanlah diri kita, melainkan hanya sebagian dari diri kita yang juga bisa keliru. Dengan memberikan jarak tersebut, kita membiasakan diri untuk me-review kembali pikiran kita, sebelum mempercayainya. Pemilihan kata yang digunakan dalam menggambarkan suatu perasaan juga sangat penting untuk memberikan 'takaran' seberapa dalam perasaan tersebut. Hindari kata-kata yang terlalu berat, tidak spesifik, dan menggenalisir seperti useless, bodoh, selalu gagal, dan lain-lain. 

"Most of us have a Willpower subpersonality and an Inner Rebel. Willpower has the words, but Inner Rebel as the action. ... We need to understand our Inner Rebel better as otherwise it will only come up with excuses to avoid what it doesn't want to do.

Our Inner Rebel probably wants a bit of fun, maybe some romantic intrigue, some leisure of some sort. Find out what it wants and strike a bargain with it. If we don't, our body will rebel. This probably means paying as much attention to scheduling fun as we do to scheduling our work. 

Dig into what the Willpower subpersonality part of you wants and why, and what that Inner Rebel part of you wants as well."

Kita selalu diajarkan belajar agar mendapat nilai bagus, bekerja untuk mencari uang, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan Willpower subpersonality yang kita miliki. Hal itu bagus, namun jangan sampai lupa bahwan kita juga memiliki Inner Rebel yang juga harus diperhatikan. Salah satu hal yang gue cukup sering temui di usia akhir 20-an ini, disaat orang seringkali terlalu fokus bekerja adalah, mereka tidak tahu cara untuk bersenang-senang, bahkan merasa bersalah jika mengambil jeda dan mengeluarkan budget lebih untuk bersenang-senang. Padahal untuk membuat diri kita merasa content, kita perlu mengenal lebih dalam keduanya. 

Menurut gue, dibanding buku sebelumnya, buku ini lebih ringan dan lebih menyenangkan untuk dibaca, namun tidak sedikit juga yang menyentil. Sangat cocok untuk dibaca kalau kalian ingin memulai membaca buku dari seorang psikiater. Well, happy reading & let me know what you are thinking!

Friday

#TravelwithDis : Rekomendasi Tempat di Bogor (selain Puncak) !

Hi Experience Seekers!

Sebagai orang yang pernah cukup lama tinggal di Bogor, tempat ini selalu memiliki tempat khusus buat gue. Walau saat itu gue lebih banyak menghabiskan waktu di Dramaga,  Kab Bogor, tapi sebenarnya gue cukup sering juga explore bagian lain selain Dramaga, seperti puncak ataupun daerah Gn Salak. Setelah lulus kuliah pun, gue masih rutin untuk pergi ke Bogor kalau ingin short escape dari Jakarta, baik itu untuk staycation, trekking ke curug, ataupun jalan pagi dan wisata kuliner di pusat Kota Bogor. Salah satu wilayah yang paling sering gue datangi adalah Sentul, dan sudah gue ulas juga rekomendasi tempat di Sentul. Sementara, dalam postingan kali ini, gue akan memberikan rekomendasi tempat menarik lainnya di Bogor.

Caringin, Kab Bogor

Kalau cari tempat yang bernuansa alam, dibandingkan Puncak yang selalu terkenal dengan macet nya, gue lebih merekomendasikan Sentul dan Caringin. Saat ini orang sudah banyak yang familiar dengan Sentul, sementara Caringin, salah satu kecamatan yang ada d Kab Bogor ini, mungkin belum banyak yang tahu. Dari rus tol Ciawi - Sukabumi, kalian bisa keluar di tol Simpang Caringin. Biasanya gue menghabiskan waktu untuk staycation dan mencoba coffee shop / restaurant di sekitar Caringin. 

Untuk rekomendasi penginapan yang pernah gue coba adalah Kayuman Villa dan Padi Resort . Kalau kalian cari penginapan yang lebih private, gue merekomendasikan Kayuman, yang berlokasi nya seperti berada di tengah hutan dan hanya ada 2 villa kecil yang berdampingan di dalamnya. Sebuah villa yang unik dengan konsep mezzanine, yang bisa menampung 2-3 orang. Hal yang paling unik dari villa ini adalah jendela besar nya yang bisa dibuka, sehingga kita bisa menikmati udara luar dengan duduk-duduk dari jendela tersebut. Selain di jendela yang menjadi daya tarik utama villa ini, banyak spot juga di sini yang bisa digunakan untuk bersantai, seperti di hammock, di depan sungai yang terlihat dari villa, atau di halaman nya yang cukup luas. 








Sementara kalau kalian cari resort yang lebih family friendly, dengan banyak aktivitas yang dilakukan, gue lebih merekomendasikan Padi Resort. Tersedia 5 tipe villa dengan kapasitas mulai dari 2 hingga 13 orang, sangat cocok untuk dinikmati bersama pasangan, teman, hingga keluarga besar. Daya tarik utama dari tempat ini adalah persawahannya yang luas, dan kita bisa menghabiskan waktu di sana dengan bersepeda, berfoto-foto, ataupun menikmatinya dari restaurant atau dari kolam renang nya. Jangan lupa untuk datang ke rooftop nya di pagi hari, karena pemandangan sunrise nya yang indah dari atas rooftop tersebut. 









Selain staycation, biasanya gue juga mengunjungi restaurant / coffee shop yang ada di sekitar tempat tersebut. Kalau kalian cari restaurant yang cocok untuk dikunjungi bersama keluarga, sambil menikmati pemandangan, gue merekomendasikan 
Radjendra Resort & Restaurant . Tidak hanya menawarkan pemandangan yang indah dan ambience yang 'Bali' banget, makanan yang disediakan di sini juga enak banget! 





Sementara untuk coffee shop, gue sangat merekomendasikan Aranya Coffee and Forest , sebuah coffee shop kecil yang terletak di tengah hutan. Wah, tempat ini berkesan banget, sih! Terletak di antara pohon pinus, udara di tempat ini sangat sejuk. Bahkan, kalau kalian dateng di sore hari setelah hujan, kabut datang dan memberikan kesan yang lebih syahdu. Kalau kalian pernah datang ke Kopi Daong , lokasi Aranya ini tidak jauh dari Kopi Daong, tetapi memang jalur menuju ke Aranya memiliki cukup banyak tanjakan yang agak curam. 







Kota Bogor

Kalau kalian tidak ingin sesuatu yang terlalu berhubungan dengan alam, menghabiskan waktu di pusat Kota Bogor juga menyenangkan. Gue biasanya memulai nya dengan pergi Kebun Raya Bogor untuk jalan pagi dan piknik santai. Kalau datang di hari libur, gue lebih merekomendasikan untuk naik KRL dibanding membawa kendaraan pribadi. Saat itu gue pernah membawa kendaraan pribadi dan menghabiskan waktu cukup lama dengan lokasi yang cukup jauh dari KRB untuk mendapatkan parkir. Begitupun saat berkeliling ke tempat-tempat lainnya.

Untuk masuk ke KRB, kalian bisa membeli tiket secara online melalui website mereka atau secara on the spot dengan harga Rp 15,500 / orang di hari kerja dan Rp 25,000 di hari libur. Sebenarnya wilayah KRB cukup luas, namun seringkali keramaian hanya berpusat di titik-titik tertentu seperti di Taman Teratai, jadi kalau kalian mencari tempat yang lebih sepi – bisa untuk jalan terus ke dalam dan meng-explore bagian-bagian lain dari KRB. Jujur, menurut gue semakin dalam dan semakin jauh kalian berjalan, semakin banyak hal unik yang bisa ditemukan di KRB, seperti pohon tumbang dengan akar yang begitu besar, jembatan merah yang dulu sangat terkenal dengan mitosnya, dan pemandangan lainnya yang bagus jika kalian suka untuk berfoto. Kalau tidak terlalu suka jalan, bisa juga untuk menyewa sepeda ataupun scooter. 








Setelah puas berkeliling KRB, kalian bisa menyebrang ke Jl Suryakencana dari Pintu 1 Kebun Raya Bogor, yang memang terkenal dengan kulinernya. Wah, soto kuning gak pernah salah sih, lengkap dengan aneka jeroan di dalamnya! Bisa juga mencoba tauge goreng, makanan khas Bogor, yang terdiri dari irisan tauge, tahu, mie kuning, lontong atau ketupat, dan disiram dengan kuah yang terbuat dari oncom. Selain soto kuning, makanan favorite gue di Kota Bogor, sudah pasti Mie Sapi Lada Hitam - nya Kedai Kita! Sepertinya, hampir setiap kali gue ke Bogor, gue selalu makan di Kedai Kita, baik yang terletak di Jl Pajajaran, Taman Kencana, ataupun yang di Sentul. 






Sementara kalau kalian
cafe hopping, cukup banyak rekomendasi cafe yang gue suka di Bogor seperti The Glasshouse & Weekenders kalau kalian cari tempat yang menyediakan live music, Medja Restaurant untuk restaurant keluarga dengan makanan indonesia, Raindear Coffee yang terkenal dengan Es Kopi Bogor nya. Tapi salah satu coffee shop yang gue suka adalah Tanmu Coffee, yang buka dari jam 6 pagi dan terkenal dengan coffee mocktail nya. Untuk kuliner malam hari, tentunya martabak air mancur ga bisa dilewatkan!







Bagaimana? Tertaik untuk explore
kah lokasi lain di Bogor selain Sentul dan Puncak? Kalau kalian sendiri, apakah masih sering berkunjung ke Puncak? Atau adakah bagian lain di Bogor yang sering kalian kunjungi? Kalau ada rekomendasi lainnya, boleh bagikan di kolom komentar, ya!

Sunday

#WrittenbyDis : Sesekali

 Hi, Insight Seekers!

Seperti yang sebelumnya pernah gue bagikan, inspirasi untuk menulis puisi bisa datang dari banyak tempat. Dan sebagai pengguna media sosial, rasanya cukup banyak inspirasi yang gue dapatkan dari konten yang begitu saja  lewat di media sosial. Salah satunya puisi ini, dibuat saat gue sedang bersantai sepulang kantor, sambil membuka menghabiskan waktu dengan scrolling reels di instagram. Sebuah reels yang membahas tentang The Last Meeting Theory.

The "Last Meeting Theory" is a concept that suggests some people enter our lives for a specific purpose, and once that purpose is fulfilled, the universe ensures that our paths never cross again.

Secara definisi, The Last Meeting Theory memberikan arti bahwa jika hubungan antar 2 orang sudah benar-benar selesai, maka semesta akan memastikan bahwa mereka tidak akan bertemu lagi, meskipun mereka tinggal di satu kota yang sama, atau mereka memiliki banyak teman yang sama. Wah, makna yang cukup dalam. Gue sempat membaca reels tersebut sampai ke kolom komentar, sampai akhirnya menemukan orang-orang yang mencoba 'melawan' teori ini, yaitu berharap pada suatu kebetulan. Langsung teringat salah satu film favorite gue, Us & Them, dimana 2 pemeran utama yang sudah lama terpisah, secara kebetulan bertemu kembali di dalam  pesawat dalam suatu perjalanan.

Gue langsung membuka notes di handphone, dan menuliskan :

Semoga akan ada satu kebetulan lagi

Yang bisa mempertemukan kita nanti.

Tidak ada yang salah dengan berharap pada suatu kebetulan tersebut, lalu bagaimana dengan orang-orang yang cukup keras kepala untuk 'mengusahakan' agar suatu kebetulan itu bisa benar terjadi? Itulah yang akan menjadi tema puisi ini, seseorang yang 'mengusahakan' sebuah kebetulan.


SESEKALI

 

Sesekali, aku ke sana lagi

Akhir pekan yang dulu dinanti

Obrolan tanpa jeda yang kita bagi

Kini ku coba nikmati, walau sendiri

 

Sesekali, aku ke tempat itu

Kata mereka, aku terlalu rindu

Ku tahu semua sudah lama berlalu

Mungkin saatnya temukan yang baru

 

Entah berapa kali aku berpura pura lewat

Berharap tak sengaja ku temuimu di sana

Entah sudah berapa lama aku tak melihat

Apa benar senyummu kini lebih berwarna?

 

Jika mata ini harus berhenti mencari

Maka aku akan berharap dalam hati

Semoga kan ada satu kebetulan lagi

Yang pertemukan kita satu hari nanti


Jadilah satu puisi lagi yang terinspirasi dari reels yang secara kebetulan lewat di media sosial gue. Well, kalau kalian sendiri, apakah percaya dengan The Last Meeting Theory? Atau tipe yang berharap pada suatu kebetulan? Atau malah, seperti dalam puisi ini, orang-orang yang 'mengusahakan' sebuah kebetulan?

Friday

#ReadbyDis : Jalan-Jalan Cari Buku di Jakarta (part 3)

 Hi, Experience Seekers!

Wah, gue sangat excited untuk berbagi rekomendasi Jalan Jalan Cari Buku hari ini. Sebuah tempat yang memadukan literasi dan arsitektur, Omah Library , yang berlokasi di di dalam sebuah komplek perumahan di Meruya, Tangerang. Didirikan pada tahun 2014 oleh seorang artsitek bernama Realrich Syarief, Omah Library menawarkan sebuah tempat membaca buku dengan pengalaman yang begitu menyenangkan. Untuk masuk ke Omah Library, pengunjung harus melakukan reservasi terlebih dahulu di sini. Setiap harinya, kunjungan dibagi menjadi 3 sesi dengan biaya Rp 35,000 /orang dan durasi 2 jam per sesinya. Setiap sesi dibatasi hanya untuk 15 pengunjung, agar suasana tetap tenang & kondusif. Jika  2 jam terasa kurang, kalian bisa memilih Double Pass yakni selama 4 jam dengan biaya Rp 60,000 . Gue memilih untuk ambil Double Pass, dan percayalah, sangat worth it. 

Dengan arsitektur nya yang unik, bangunan ini sudah terlihat istimewa dari depan, dan semakin terasa istimewa saat masuk ke dalam dan mulai mengeksplor setiap sudutnya. Sebelum dibebaskan mengeksplor tempat ini, pengunjung akan diajak tour terlebih dulu seputar Omah Library, sekaligus briefing singkat terkait peraturan dan kebiasaan di perpustakaan ini. Gue benar-benar terkesan dengan arsitetur nya yang unik & modern, serta reading space nya yang dikemas dengan begitu nyaman. Kalian bisa memilih ingin membaca di sofa bed, beanbag, atau di kursi sambil menikmati secangkir kopi.  Omah Library juga menyediakan makanan & minuman yang bisa kalian pesan -- namun kalau menurut gue pribadi, untuk pilihan minuman, terutama kopi nya mungkin bisa diperbanyak. Jika ingin air mineral, kalian dapat memintanya pada petugas perpustakaan secara gratis. 






Dari segi koleksinya, mayoritas buku disini adalah seputar arsitektur. Namun cukup banyak juga pilihan buku lainnya, terutama koleksi buku fiksi baik penulis terkenal lokal, maupun internasional. Gue mencoba memilih beberapa buku dan membacanya sambil bersantai di beanbag. Ada satu hal lagi yang cukup mengesankan, yakni petugas perpustakaan akan meminta setiap pengunjung untuk menuliskan testimoni nya dan akan dipajang di berbagai sudut tempat ini. Wah, juara sih idenya! Sayang sekali untuk toko buku nya tidak beroperasi saat gue datang kesana, namun kalian bisa membeli online di sini. Untuk koleksi buku yang dijual, memang lebih berfokus ke seputar Arsitektur.





Overall sebuah pengalaman yang menyenangkan bisa menemukan perpustakaan dengan konsep seperti ini. Kalau ada lebih banyak perpustakaan dengan konsep yang homey dan kekinian seperti ini di Jakarta, rasanya minat membaca orang di Jakarta bisa meningkat, ya!