Ulasan buku kali ini datang Philippa Perry, seorang psikiater dan juga penulis dari salah satu buku favorite gue, The Book You Wish Your Parents Had Read yang sudah pernah gue ulas juga sebelumnya. Pengemasan buku ini hampir mirip dengan buku sebelumnya, pembahasan yang terstruktur dan detail, sebagai jawaban dari pertanyaan yang diberikan kepada Perry. Jika dalam buku The Book You Wish Your Parents Had Read, Perry lebih fokus dalam hubungan orang tua dan anak, dalam buku ini Perry membahas hubungan itu sendiri secara general, hubungan kita sebagai orang dewasa, dengan diri sendiri dan orang-orang di sekitar.
Dalam introduction nya, Perry menjelaskan bahwa dalam menghadapi apa yang terjadi dalam hidup ini, kita sering kali bertanya 'Why?' . Mengapa suatu hal terjadi pada kita? Mengapa pasangan kita begini? Mengapa orang tua kita begitu? Dan berbagai pertanyaan mengapa lainnya. Hal ini terjadi karena kita senang dengan sebuah narasi, kita butuh penjelasan sejelas-jelasnya atas apa yang terjadi, atau atas perilaku orang lain terhadap kita. Perry menyarankan, dibandingkan dengan bertanya 'Mengapa', akan lebih baik jika kita bertanya 'Bagaimana'. Bagaimana kita merasakan apa yang kita rasakan? Bagaimana kita memberikan atas suatu hal yang terjadi, atau atas perilaku orang lain? Pertanyaan 'bagaimana' juga menekankan bahwa kita memiliki kontrol penuh atas respon dan perasaan yang ingin kita berikan terhadap suatu hal. Dan dari hubungan yang kita bangun dengan orang-orang di sekitar kita, yang bisa kita kontrol hanyalah diri kita sendiri, jadi sebaiknya daripada kita terlalu memikirkan 'mengapa', yang tidak bisa kita kontrol, lebih baik kita memikirkan si 'bagaimana' itu sendiri. Untuk membantu kita menjawab pertanyaan 'bagaimana' tersebut, Perry membagi buku ini menjadi 4 bagian ; How We Love, How We Argue, How We Change, dan How We Find Contentment.
Dalam setiap bagian nya, Perry memberikan banyak penjelasan, yang dilengkapi dengan berbagai contoh kasus yang sangat relatable dengan kehidupan sehari-hari. Tentang membangun hubungan yang sehat, tentang menghadapi konflik baik dengan orang lain maupun dengan diri sendiri, tentang menghadapi perubahan baik yang kita rencanakan maupun yang tidak kita rencanakan, dan tentunya bagaimana kita bisa menemukan inner peace dan makna kehidupan itu sendiri,
Insight!
"If you are going to have fantasy, make it a good one. Which fantasy you have trained yourself to believe will impact what your energy is like with other people and what they will pick you up on when they are with you."
"Our challenge is to not lose put faith in the inherent goodness of most people. Not all humans are all bad, and some of them are really great and will be fun and interesting"
Dari sekian banyak hal yang dibahas dalam chapter 1 : How We Love, gue akan memulainya dengan satu poin yang ringan, tapi menurut gue, poin ini sangat penting sebelum masuk ke poin-poin selanjutnya. Semakin dewasa, mungkin banyak kesedihan dan kekecewaan yang pernah kita dapatkan dari orang lain, sehingga seringkali kita terlalu berwaspada dan menggenarilisir bahwa semua orang itu jahat, atau semua orang itu menyebalkan. Namun, penting untuk selalu menyisakan ruang untuk percaya bahwa tidak semua orang akan menyakiti kita. Sisakan ruang bahwa ada begitu banyak orang baik dan menyenangkan yang akan kita temui, serta begitu banyak interaksi dan hubungan menyenangkan yang bisa kita bangun dengan orang-orang tersebut Hal ini sangat berguna, karena inilah salah satu hal yang membuat gue bisa memiliki hubungan baik dengan banyak orang ; Gue percaya dengan kebaikan orang, bahwa setiap orang pasti memiliki sisi baik dan menyenangkan. Bagaimana kita memandang orang akan memengaruhi energi yang kita berikan dalam sebuah interaksi dengan orang lain, dan energi itulah yang akhirnya juga memengaruhi bagaimana orang lain memperlakukan kita.
"Diaphobia; a fear of true dialogue. The fear of being impacted upon or influenced by another person. To surrender is to let go of that fear. To surrender is also to offer something of yourself to the other without knowing how it will land with them. It means lowering your guard, allowing yourself to be vulnerable. It means surrendering to inevitability that other people will not see you as you might want to be seen. It means not demanding of them that they see you as this or that, not focusing on what you're going to say next while someone is talking. Instead, surrendering is opening yourself up to how their words may affect and change you. When you surrender to a conversation you don't know where it will lead because you are open to any outcome. It also means allowing and trusting others to be as they are".
Ah, ini menyentil gue pribadi sebagai si Avoidant yang seringkali menghindari awkward conversation atau percakapan dengan yang 'terlalu serius'. Mungkin iya ada benarnya, bahwa gue menghindari hal ini karena gue terlalu memberi batasan agar orang cukup melihat gue seperti bagaimana gue ingin dilihat saja, dan memberi batasan kepada diri sendiri agar tidak membiarkan orang lain memengaruhi gue. Pembahasan tentang Surrender ini menarik banget, something that I really work on.
"It may be easier to understand another's experience if you can see that we each have a dominant - or preferred - way of coping, These are usually thinking, feeling, or doing. Some of us like to think our way to out of trouble. Others need to explore their feeling first. And others go straight into action mode. I imagine these tree ways of being as doors, and what we need to know is which are open, which are closed, and which are locked."
Di awal chapter 2 : How We Argue, kita akan diajak mengenal dulu bahwa konflik sering terjadi karena perbedaan cara orang dalam menghadapi suatu masalah. Dalam pembahasan ini, gue cukup banyak berefleksi, karena mungkin gue seringkali berusaha memberikan saran kepada orang untuk membuka 'pintu' yang sama dengan gue, tanpa berfikir mungkin 'pintu' yang selama ini gue buka adalah 'pintu' yang orang lain tutup. Just because it works well on me, doesn't mean it will work well on others. Jadi, dibanding kita berupaya keras untuk memaksakan cara kita kepada orang lain, lebih baik kita berusaha mengenal dan mengerti bagaimana cara yang biasa mereka gunakan dan gunakan cara tersebut dalam berargumen.
"When we focus on logic rather than feelings, we can fall into a game of what I like to call fact tennis. Fact tennis is when two people in argument are lobbing reasons and facts over the net to each other, finding more and more to hit the other person with. The aim becomes point scoring rather than finding a workable solution.
Put aside rights and wrongs, don't seek to blame and/or get an apology, but try instead to understand. Being right is overrated."
HEHEHE lagi-lagi merasa tersentil :) Saat berargumen, kita harus sadar bahwa kita tidak sedang mencari pemenang, tidak sedang mencari pembuktian siapa yang lebih pandai berdebat, namun mencari solusi untuk kebaikan bersama. Kita tidak perlu menjadi si-yang-paling-benar, tapi jadilah orang yang bisa mengerti . Kalau menurut quotes yang sering gue dengar, 'It's not about me vs you, it's us vs the problem'.
"When people are stuck, often I find they don't know they have a choice about how they respond to their world. Life simply appears to happen to them without them having to take responsibility for their actions or inaction, and for the subsequent consequences. It is like they are stuck in the back seat of their life, unhappy that the driver isn't taking them to where they want to go.
"Certain experiences can cause us to develop a victim mentality.... One of the indicators of victim-mode is giving a list of reasons why any solution offered to us will not work, so people who try to help us are left confused or frustrated. There are no advantages to being a victim, but there are to being stuck in victim-mode, such as not having to take responsibility for things that happen in our lives and blaming everything bad on other people's action"
Chapter 3 : How We Change is probably my favorite chapter. Mungkin di usia akhir 20-an ini, seringkali kita merasa stuck, baik dalam karir, pengembangan diri, hubungan, atau dalam aspek apapun itu. Namun jangan sampai membuat kita lupa, bahwa sebenarnya kita selalu memiliki pilihan untuk bergerak. Penggunaan kursi penumpang ini membuatnya lebih mudah untuk dimengerti. Kita bukanlah penumpang yang akan membiarkan hidup kita 'disetir' oleh orang lain, kita lah yang memiliki power untuk menyetirnya. Kita yang memiliki pilihan untuk belok ke kanan, atau ke kiri, mencoba rute lain yang mungkin belum pernah kita coba sebelumnya, atau bahkan kita memiliki pilihan untuk mengganti destinasinya.
Jika merasa kurang mampu dalam menyetirnya, berlatih dan belajarlah terus. Jika merasa kebingungan, bertanyalah pada banyak orang yang ditemui di sepanjang jalan. Jika kita terbiasa untuk tidak 'menyetir' nya sendiri, kita akan merasa bahwa ketika kita terjebak macet, menemukan jalan yang berlubang, terlambat sampai ke tujuan, dan hal-hal buruk lainnya, adalah hal yang disebabkan karena kesalahan orang lain, atau karena takdir buruk yang menempatkan kita pada keadaan tersebut. Dan kita hanyalah korban dari orang lain dan takdir buruk tersebut.
"We fear making the wrong choice. It feels like we might avoid mistakes if we don't make decisions. But not making decisions is still choice and it may, like other choices, be the wrong one. I believe it is impossible to really know whether a choice is the right one without hindsight -- and none of us has that. Mistakes and failure are necessary in order to grow. In psychotherapy we call them "another bloody fucking learning opportunity."
Ah, bagus banget! Kita harus sadar, bahwa ketika kita tidak mengambil keputusan untuk berubah, itu adalah sebuah pilihan yang kita ambil. Kita memilih untuk tidak mengambil keputusan untuk berubah. Jika ada risiko yang kita hadapi ketika kita mengambil keputusan untuk berubah, maka bersiaplah juga untuk risiko yang kita hadapi saat kita memilih untuk tidak mengambil keputusan untuk berubah.
"The main thing to remember is that change takes practice. It might not feel right at the start because it won't feel familiar, and we mistake familiarity for truth. What is familiar and comfortable feels right, even if it harms us. "
Salah satu hal yang sering dibahas Perry dalam buku ini adalah tentang familiarity itu sendiri. Gue pernah mendengar salah satu insight menarik dalam podcast Raditya Dika dengan seorang psikolog, Nago Tejena , saat ada pertanyaan mengapa orang memilih untuk bertahan terus-menerus dalam sebuah toxic relationship, dan dijawab dengan jawaban yang menurut gue, makes sense but painful at the same time, yakni karena orang cenderung memilih merasakan 'luka yang familiar' dibandingkan dengan berubah ke kondisi yang mungkin lebih baik, namun terasa tidak familiar. Mereka tidak memiliki bayangan akan seperti apa kondisi baru tersebut, role baru yang harus dijalani, atau label baru yang diberikan orang sekitar. Jika toxic relationship adalah kondisi yang terlalu berat, mungkin kita juga menerapkan ini dalam aspek karir yang sebenrnya kita merasa stuck dalam suatu pekerjaan, namun kita memilih untuk tidak mencari pekerjaan baru, karena sudah terlalu nyaman dengan familiarity yang kita miliki di tempat kerja tersebut.
"If you feel stuck in the obsessional stage you can move beyond it by controlling where and when you let it out. You do this by setting a timetable for it. Weep, rage, and mourn at the same time every day for half an hour, In fact, you must mourn and grieve then, even if you don't feel like it. Reminisce about the way life used to be. You could make a shrine, light a candle, weep, write a love letter that you will never send -- anything -- but no more than half an hour a day and only at your allotted time. Be strict, set alarms. In this way while you are having your feelings and working through them you are also gaining control of them."
Pembahasan ini dalam konteks menghadapi perubahan yang terjadi karena berakhirnya sebuah hubungan. Walau tidak se-proper poin di atas dalam membuat 'jadwal' dalam meluapkan emosi, percayalah gue juga melakukan hal ini saat ada di fase life after break up beberapa tahun lalu. Gue memperbolehkan diri gue untuk meluapkan semua emosi yang ada, tapi gue memiliki kontrol penuh terhadap kapan, di mana, dan bagaimana semua emosi itu diluapkan. Pada akhirnya, kemampuan untuk mengontrol emosi itu menjadi sesuatu yang memberikan banyak manfaat untuk gue hingga sekarang.
"There is the difference between saying 'I am scared' and 'I feel scared' . 'I am scared' is defining a whole person whereas with 'I feel scared', there is part of the person that is sitting back and observing, and therefor still available to make a decision. We can take our feelings into account, without being merely a reaction to those feelings.
So how can we develop our observer part? I recommend keeping a journal of moods, sensations, and observations. This is a part of you which simply observes the different emotions and sensations you have -- not part of your gratitude, or your anxiety, or your love, or your fear. Speak from this part. This means instead of saying 'I am anxious;, you'll say 'I notice I am feeling anxious'. Create a sense of distance between you and your negative feelings."
"The critical voice, on the other hand, makes criticisms that are blunt and general. It doesn't say useful stuff like 'you put too much copper oxide into that glaze so it came out black instead of green', it says instead 'you're useless, you'll never be any good at pottery'. That's how you know it's your inner circle talking, and that you need to distance yourself from it."
Ini ada kaitannya dengan buku Merawat Luka Batin bagian memisahkan antara diri kita dan pikiran kita. Pikiran kita bukanlah diri kita, melainkan hanya sebagian dari diri kita yang juga bisa keliru. Dengan memberikan jarak tersebut, kita membiasakan diri untuk me-review kembali pikiran kita, sebelum mempercayainya. Pemilihan kata yang digunakan dalam menggambarkan suatu perasaan juga sangat penting untuk memberikan 'takaran' seberapa dalam perasaan tersebut. Hindari kata-kata yang terlalu berat, tidak spesifik, dan menggenalisir seperti useless, bodoh, selalu gagal, dan lain-lain.
"Most of us have a Willpower subpersonality and an Inner Rebel. Willpower has the words, but Inner Rebel as the action. ... We need to understand our Inner Rebel better as otherwise it will only come up with excuses to avoid what it doesn't want to do.
Our Inner Rebel probably wants a bit of fun, maybe some romantic intrigue, some leisure of some sort. Find out what it wants and strike a bargain with it. If we don't, our body will rebel. This probably means paying as much attention to scheduling fun as we do to scheduling our work.
Dig into what the Willpower subpersonality part of you wants and why, and what that Inner Rebel part of you wants as well."
Kita selalu diajarkan belajar agar mendapat nilai bagus, bekerja untuk mencari uang, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan Willpower subpersonality yang kita miliki. Hal itu bagus, namun jangan sampai lupa bahwan kita juga memiliki Inner Rebel yang juga harus diperhatikan. Salah satu hal yang gue cukup sering temui di usia akhir 20-an ini, disaat orang seringkali terlalu fokus bekerja adalah, mereka tidak tahu cara untuk bersenang-senang, bahkan merasa bersalah jika mengambil jeda dan mengeluarkan budget lebih untuk bersenang-senang. Padahal untuk membuat diri kita merasa content, kita perlu mengenal lebih dalam keduanya.
Menurut gue, dibanding buku sebelumnya, buku ini lebih ringan dan lebih menyenangkan untuk dibaca, namun tidak sedikit juga yang menyentil. Sangat cocok untuk dibaca kalau kalian ingin memulai membaca buku dari seorang psikiater. Well, happy reading & let me know what you are thinking!