Hi, Insight Seekers!
Another self-help book written by a psychiatrist! Sebenarnya, gue sudah sangat familiar dengan dr. Jiemi Ardian, Sp. KJ karena sudah mengikuti Youtube nya sejak lama. Gue akhirnya membeli buku ini setelah sebelumnya menamatkan 2 buku dr. Andreas Kurniawan dimana ada nama dr Jiemi di dalam salah satu bukunya. Berbeda dari buku dr. Andreas yang dikemas dengan ringan dan bahasa yang santai, menurut gue buku ini dikemas dengan lebih berat dan bahasa yang lebih serius. Kalau membaca sinopsis & daftar isinya, memang buku ini cukup fokus terhadap depresi -- bagaimana mengenal & menanganinya. Namun secara keseluruhan, buku ini bisa dibaca oleh semua orang yang memang ingin belajar tentang kesehatan mental, khususnya tentang proses berpikir manusia yang seringkali menjadi akar dari depresi itu sendiri.
Banyak insight yang gue dapatkan dari buku ini, terutama tentang kesalahan berpikir yang seringkali menjadi penyebab terjadinya depresi. Artinya, hal paling utama yang harus dilakukan untuk menangani depresi, adalah memperbaiki cara bepikir kita. Pikiran, memainkan berperan besar dalam menentukan emosi yang kita rasakan. Selain itu kita juga diajarkan untuk mengenal dan mendefinisikan emosi yang kita rasakan. Mendefiniskan emosi membuat kita bisa memberikan "kata" yang tepat untuk setiap emosi, sehingga tidak mudah untuk mengatakan depresi, hancur, gagal, putus asa, dan lainnya.
Selanjutnya kita akan dibawa lebih dalam ke mengapa ada keinginan untuk menyakiti diri sendiri bahkan mengakhiri hidup bagi orang yang mengalami depresi, dan bagaimana cara menahan diri dari keinginan-keinginan tersebut. Kita juga diajak untuk mengenal teknik Mindfulness -- yang dapat membantu kita untuk bisa menyadari pikiran dan perasaan kita.
Key Takeaways
"Untuk memahami depresi lebih mendalam , sebelumnya kita perlu bisa melihat perbedaan antara kesedihan, berkabung, dan depresi. Kesedihan merupakan reaksi emosional dalam kehidupan sehari-hari. Kesedihan merupakan reaksi emosional yang sementara. Perasaan sedih ini juga tidak mengganggu aktivitas dan kegiatan kita sehari-hari. Kesedihan adalah tanda bahwa kita membutuhkan bantuan dan dukungan dari orang lain. ... Berkabung merupakan emosi yang lebih intens dan menetap dibandingkan dengan kesedihan. Berkabung cenderung mengakibatkan efek yang distruptif dan dapat berujung pada kesedihan yang mendalam. Meskipun berlangsung cukup lama, menyakitkan, dan memiliki efek buruk, berkabung bukanlah gangguan jiwa. Perbedaan berkabung dan depresi dan kita lihat setidakanya dari dua hal. Pada reaksi berkabung, meskipun perasaan sedih begiu mendominasi, hal itu tidak memengaruhi cara kita menghargai diri sendiri. Berbeda dengan depresi, selain kesedihan yang mewarnai keseharian, ada perasan ketidakberhargaan yang begitu mengganggu sehingga individu itu merasa tidak mampu, tidak percaya diri, dan tidak layak. Selain itu, ketika berkabung, kita masih bisa merasakan kehidupan. Sebaliknya, orang dengan depresi kehilangan kemampuan untuk merasakan kebahagiaan. Kehidupan terasa membosankan, kosong dan tumpul, seakan-akan tidak ada tujuan hidup dan semuanya tidak bermakna."
Di usia mendekati akhir 20an ini, gue cukup banyak menemukan orang yang dengan mudah mengatakan bahwa dirinya merasa depresi, atau banyak kejadian yang membuat diri mereka depresi. Sangat bagus dr. Jiemi membuka buku ini dengan mejelaskan terlebih dulu perbandingan antara sedih, berkabung, dan depresi. Penting untuk mengenal definisi dan cirinya masing-masing, sehingga kita tidak mudah untuk mengklaim diri kita depresi, atau mengeluhkan hal-hal yang kita rasa, membuat kita depresi. Dengan mengetahui hal ini juga, kita akan lebih mudah untuk memiliki rasa empati yang lebih pada orang yang mengalami depresi, karena kita tahu persis bahwa itu bukanlah hal yang sepele, jauh berbeda dengan kesedihan yang kita rasakan sehari-hari.
"Kita tidak hanya membutuhkan sentuhan dan interaksi, tetapi juga interaksi yang sehat. Tidak ada orangtua yang sempurna, tentu akan ada kelemahan dalam proses pengasuhan. Bukan kesempurnaan yang menjadi target utama kita, melainkan secara umum cukup baik dalam proses pengasuhan. Menyadari adanya masalah dalam pengasuhan bukan ditujukan untuk menyalahkan orangtua atau pengasuh kita dahulu, melainkan untuk membuat kita sadar pernah melalui hal-hal yang bermasalah di masa lalu, kemudian secara aktif mencari penyelesaian masalah emosional dari masa lalu yang belum selesai. Hubungan dengan keluarga akan tampak jelas dari bagaimana cara kita berinteraksi dengan orang lain. Perasaan aman, merasa semua orang berbahaya, ingin dekat tapi ada perasaan takut, manipulatif, dan perasaan atau sikap lainnya itu kita pelajari dari keluarga."
Dari beberapa buku self-help yang gue baca, pola asuh di masa kecil memang dapat memberikan dampak yang begitu besar bagi kehidupan seseorang. Ketika kita membahas ketidaksempurnaan pola asuh orang tua, kita tidak selalu membahas tentang 'kekerasan' ataupun 'ketidakpedulian', terkadang kita hanya membahas 'ketidaktahuan' orang tua. Maka dari itu, menyadari masalah yang muncul setelah kita dewasa yang ternyata berakar dari pola asuh semasa kecil ini, bukanlah untuk menyalahkan orang tua, namun untuk menyembuhkan diri kita sendiri agar tidak terus terbawa ke fase kehidupan selanjutnya, apalagi sampai mewariskannya ke anak kita nanti.
"Jika ingin merubah perasaan, kita perlu mengubah pikiran. Karena kita tidak punya sakelar untuk mengubah perasaan. Kita tidak bisa mengubah perasaan secara langsung. Namun, kita bisa mengubah perasaan dengan mengubah pikiran. Kita bisa menyadari pikiran yang hadir, mengambil jarak dari pikiran, mengevaluasi pikiran, kemudian karenanya perasaan bisa membaik."
"Memahami bagaimana pikiran kita memengaruhi perasaan kita adalah dasar dari CBT. Menyesuaikan perasaan dengan cara kita berpikir adalah langkah pertama untuk mengendalikan perasaan dan pikiran. Mengapa kita merasakan apa yang kita rasakan? Mengapa ada orang yang sangat tertekan ketika melihat bayi dalam gendongan, sementara orang lain biasa saja? Mengapa ada orang yang sangat kegirangan melihat artis Korea, sementara yang lain biasa saja atau malah tidak menyukainya? Jawabannya terletak pada apa yang kita pikirkan terkait bayi dan artis Korea. Pikiran kita memberi persepsi dan nilai pada bayi dan artis Korea, oleh karena itu kita merasakan perasaan tertentu. Pikiran kita memberikan makna tertentu pada hal-hal di sekitar kita. Apa yang kita rasakan buka hanya akibat dari apa yang kita lihat, tetapi juga merupakan makna yang kita lekatkan pada pengalaman yang membuat kita merasa dan bereaksi dengan cara-cara tertantu."
"Penting bagi untuk kita untuk mengidentifikasi kebiasaan berpikir keliru apa yang kita gunakan. Dengan demikian, kita dapat memisahkan antara diri kita dengan pikiran kita. Dengan menyadari antara diri kita dengan pikiran kita, kita menjadi sadar bahwa kita memiliki pilihan atas apa yang kita pikirkan. Kita menjadi menyadari bahwa saya bukan pikiran saya, dan pikiran saya bukan saya. Pikiran hanyalah sebagian dari diri kita, yang jika keliru juga perlu kita telaah dengan jujur dan penuh keterbukaan. Sesekali kita juga perlu meragukan pikiran kita sendiri, ketika ia mengatakan kepada diri kita soal kegagalan, ketika ia mencerahami kita soal masa depan yang suram, ketika ia mulai membisi kita tentang kematian, kita perlu meragukan pikiran-pikiran tersebut. Tidak semua yang kita pikirkan itu benar."
Salah satu topik penting dalam buku ini adalah bagiamana kita harus bisa memisahkan antara pikiran dan perasaan. Pikiran inilah yang memberi makna pada hal-hal di sekitar kita, yang akhirnya berdampak pada apa yang kita rasakan terhadap hal tersebut. Itulah mengapa, satu hal yang bersifat netral bisa membuat 2 orang merasakan perasaan yang berbeda, karena makna yang diberikan oleh 2 orang itu juga berbeda. Pikiran kita dipengaruhi oleh banyak hal, dan tentunya pikiran kita tidak selalu benar. Itulah yang gue suka dari membaca buku self-help yang ditulis oleh seorang psikiater atau psikolog, bagaimana mereka bisa membantu kita dalam me-review kembali cara berpikir kita, yang kadang keliru. Kata-kata "semua tergantung mindset" yang sering kita dengar, menjadi lebih mudah untuk diterima, karena ada penjelasan logis dibaliknya. Karena sebenarnya, banyak hal yang mengganggu kita. Dan dalam hidup ini, banyak hal yang berada di luar kendali kita yang akan sulit untuk mengubahnya, tapi cara berpikir kita, adalah sesuatu yang 100% berada di bawah kendali kita, sesuatu yang bisa kita punya kendali peuh untuk memperbaikinya.
"Ada hal yang unik dari perasaan, yaitu kita bisa merasakan beberapa perasaan yang saling bertolak belakang sekaligus. Misalnya, pernahkah kita merasakan senang sekaligus sedih? Sedih yang saya rasakan tidak menghilangkan senang yang saya alami, begitu juga sebaliknya. Senang dan sedih tidak saling meniadakan. Perasaan yang (seakan) bertolak belakang bisa hadir secara bersamaan tanpa saling meniadakan. Senang tidak menghilangkan sedih, cinta tidak menghilangkan marah, dan syukur tidak menghilangkan depresi -- semuanya bisa hadir secara bersamaan di satu waktu tanpa saling meniadakan."
"Manusia adalah makhluk emosional, yaitu makhluk yang juga digerakan oleh emosi. Dalam otak, ada bagian terpisah yang memproses emosi dan logika dengan cara yang berbeda. Kita bisa mebgetahui, tetapi bertindak persis sebaliknya. Misalnya, kita tahu makan sayur itu sehat, hal itu tidak serta merta membuat kita menyukai sayur, bukan? Atau bagi beberapa orang yang merokok, mungkin saja kita tahu bahwa merokok itu tidak sehat, tetapi hal itu tidak serta merta membuat kita berhenti merokok, bukan? Mengetahui bahwa "seharusnya" kita merasa bersyukur karena lebih beruntung daripada orang lain tidak sama dengan membuat kita bersyukur menyadari kebenaran tersebut"
Aaah, ini juga pembahasan yang menarik banget! Coba baca kembali pembahasan gue tentang buku Emotional Intelligence yang membahas tentang rational & emotional mind. Terkadang kita tahu apa yang seharusnya lakukan, namun bertindak sebaliknya. Atau ada juga kerjadian kita merasakan dua emosi yang berlawanan dalam satu waktu, dan itu adalah yang normal. Rasakan keduanya. Kita pernah merasa bahagia karena sudah lulus dari kehidupan universitas, namun sedih karena harus berpisah dengan orang-orang yang kita sayangi di kampus. Pernah juga merasa sangat bahagia dengan kehidupan yang sedang kita jalani, namun terkadang masih teringat dengan seseorang yang pernah pergi, berfikir bagaimana hidup kita jika dia masih disini. Hal ini juga dibahas di buku Seorang Wanita yang Ingin Menjadi Pohon Semangka di Kehidupan Selanjutnya
"Daripada merasa diri selalu gagal, jujurlah bahwa kadang kita gagal, tapi kadang juga berhasil. Daripada merasa semuanya percuma, jujurlah melihat bahwa terkadang yang kita lakukan tidak berakhir seperti yang kita harapkan, tapi beberapa hal lainnya berakhir seperti apa yang kita harapkan. Gantilah kata-kata yang menggenarlisasi, tapi berikan ruang untuk detail spesifik"
Ketika kita mengalami hal buruk, semua perhatian kita akan tertuju pada hal buruk tersebut, seakan kita lupa bahwa banyak hal baik juga yang pernah terjadi dalam hidup kita. Mungkin saat ini, ada satu hal buruk yang sedang terjadi. Jika memang ingin mengeluhkan hal tersebut, silahkan, namun jangan melupakan hal baik yang seringkali terjadi. Bersikap adil lah juga dalam menerima apa yang terjadi dalam hidup yang terkadang tidak sesuai harapan, seringkali sesuai harapan, dan ada juga yang terjadi jauh lebih indah dari yang kita harapkan.
"Perhatikan jenis kata yang kita gunakan untuk menggambarkan emosi atau situasi kita. Jika kita mendeskripsikan perasaan dengan istilah seperti "rusak", "sia-sia", "tidak ada yang bisa mengerti", "hancur", "putus asa", atau "berantakan" , coba ganti dengan kata sifat yang lebih ringan. Kita bisa memilih kalimat, "Saya merasa khawatir", "terkejut", atau "merasa tidak dimengerti". Dengan memodifikasi pemilihan kata, kita juga mengubah persepsi tentang apa yang telah terjadi, yang juga akan mengubah respon kita terhadapnya."
Nah ini menyambung dengan hal yang gue bahas di poin 1, cukup banyak orang yang dengan mudahnya mengatakan kata depresi, tanpa sebenarnya mengenal apa itu dan bagaimana ciri dari depresi itu sendiri. Sama seperti penggunaan kata depresi yang memiliki arti yang tidak ringan, kata-kata seperti hancur, putus asa, sia-sia, juga dirasa terlalu 'berat' untuk mendeskripsikan perasaan sedih yang mungkin sedang kita rasakan. Cobalah untuk mendeskripsikan perasaan kita sedetail mungkin, hal ini akan membantu kita dalam memberi label pada perasaan yang sedang kita rasakan.
"Menghormati seseorang dengan depresi berarti menjaga dan mendukung tetapi tegas untuk mendorong mereka melakukan hal-hal baik untuk diri mereka sendiri. Cara ini bisa menjadi keseimbangan yang baik dan patut dijaga dalam mendampingi orang dengan depresi. Kadang kita membantu mereka dengan ekstrem seperti memanjakannya ketika sedang terpuruk atau malah menolaknya. Jika kita membuat keputusan atas nama orang yang depresi, hal itu akan mendorong mereka untuk tetap pasif dan tidak berdaya. Mereka bisa merasa terperangkap sebagai korban karena merasa tidak merdeka dalam mengambil keputusan. Hal ini membuat mereka memiliki keyakinan bahwa mereka tidak memiliki kendali dalam hidup mereka."
Menjelang akhir buku ini, ada 1 bab khusus dimana dr.Jiemi membahas tentang cara menjadi seorang care giver bagi orang yang mengalami depresi. Caregiver sendiri adalah orang yang memberikan pengasuhan kepada seorang individu yang mengalami keterbatasan dalam merawat dirinya sendiri, baik karena usia, kondisi kesehatan, ataupun keterbatasan fisik dan mental. Gue sangat mengapresiasi ada banyak pesan khusus yang diberikan dr.Jiemi untuk para caregiver, karena memang tidak mudah menjadi seorang caregiver.
Overall, buku ini menurut gue sangat menarik jika kalian ingin belajar seputar kesehatan mental, terutama dari sisi Ilmu Kedokteran. Gue tertarik untuk explore lebih banyak buku-buku yang ditulis oleh seorang psikiater, kalau kalian ada rekomendasi, boleh share di kolom komentar yaa!
Happy reading and let me know what you're thinking!
No comments:
Post a Comment