Hi, Insight Seekers!
Buku ini adalah salah satu buku yang gue memakan waktu cukup lama untuk membacanya, sekitar 3 bulan? Gue membaca buku ini sambil gue seling dengan buku yang lebih ringan topik & pembahasannya. Buku ini menurut gue “daging banget”, salah satu buku yang akan sering gue re-visit kedepannya. Entah berapa kali gue ngangguk-ngangguk ketika membaca 400 halaman yang menjelaskan secara lengkap dan terstruktur tentang Emotional Intelligence. Gue suka mempelajari emosi manusia, yang mungkin gue lebih sering pelajari dari sisi Ilmu Psikologi, tapi buku ini membantu gue untuk mempelajarinya dari sisi Ilmu Kedokteran.
Di chapter awal, buku ini akan membahas tentang bagaimana otak manusia bekerja. Bagian otak manusa seperti neocortex, limic, hippocampus, amygdala, dan lainnya akan banyak dibahas di sini. Ada penejelasan mengapa bisa ada momentum dimana diri kita tidak bisa berfikir secara rasional, dan seperti dikuasai oleh emosi. Disini juga dibahas tentang bagaimana setiap emosi dihasilkan, dan bagaimana emosi bisa menyiapkan tubuh kita untuk merespon setiap emosi tersebut. Bagaimana tubuh kita merespon rasa marah, rakut, bahagia, cinta, sedih, bahkan sampai rasa kaget & rasa jijik. Sedikit mengingatkan dengan film Inside Out, ya? Gue membaca penjelasan ini sambil berpikir “Masya Allah yang telah menciptakan manusia dengan begitu sempurna”.
Chapter berikutnya menjelaskan tentang definisi kecerdasan emosional itu sendiri, dan mengapa itu penting dalam kehidupan manusia. Sama seperti kecerdasan lainnya, kecerdasan emosional sangat bisa dan harus untuk dilatih. Di sini dijelaskan tentang efek dari orang yang tidak memiliki kecerdasan emosional, yaitu menjadi budak dari emosi mereka sendiri. Dalam buku ini akan dibahas dengan mendetail terkait amarah, depresi, empati, dan emosi-emosi lainnya.
Berikutnya kita akan masuk ke pengaplikasian kecerdasan emosional dalam kehidupan sehari-hari. Apapun peran yang sedang kita jalani, dan dimana pun itu, kecerdasan emosional sangat diperlukan. Dalam beberapa chapter berikutnya, akan dijelaskan bagaimana peran kecerdasan emosional dalam dunia kerja, terutama dalam menjadi pemimpin. Lalu tentang hubungan dengan pasangan, maupun dengan keluarga. Dan bagaimana korelasi antara kecerdasan emosional dan kesehatan mental, terhadap kesehatan manusia secara keseluruhan. Gue paling suka ketika membahas tentang Emotional Illiteracy, terutama tentang bagaimana peran orang tua dan lingkungan dalam mengajarkan kecerdasan emosional pada seorang anak sejak kecil. Kasus-kasus yang terjadi akibat kurangnya kecerdasan emosional pada remaja seperti bullying, depresi di usia muda, hingga obestias & eating disorder dijelaskan dengan sangat mudah dimengerti. Contoh tentang obestitas yang diakibatkan karena ketidakmampuan seseorang dalam melabeli emosinya, sehingga apapun emosi yang ia rasakan, ia menyalurkannya dengan makan yang berlebihan.
Secara keseluruhan, buku ini sangat padat, penuh teori, dan bahasa yang digunakan juga cukup kompleks. Buku ini highly recommended kalau kalian ingin belajar tentang kecerdasan emosional, bukan tipe buku yang dibaca untuk mengisi waktu luang.
Key Takeaways
“We have two minds, one that thinks, and one that feels.”
“One is an act of the emotional mind, the other of rational mind. In a very real sense, we have two minds, one that thinks and one that feels. These two fundamentally different ways of knowing interact to construct our mental life. One, the rational mind, is the mode of comprehension we are typically conscious of: more prominent in awareness, thoughtful, able to ponder and reflect. But alongside, that there is another system of knowing: impulsive and powerful, if sometimes illogical – the emotional mind”
“In many or most moments these minds are exquisitely coordinated; feelings are essentials to thought, thought to feelings. But when passions surge to balance tips: it is the emotional mind that captures the upper hand, swamping the rational minds”
Bagian ini dibuka dengan cerita yang sangat relatable, dimana ada seorang wanita yang bercerai dengan suaminya dan menemukan bahwa suaminya telah menikah dengan wanita lain. Beberapa bulan kemudian, wanita ini menceritakan bahwa ia sudah tidak lagi teringat dengan mantan suaminya, sudah move on dan menjalani kehidupannya dengan penuh kemandirian dan kebahagiaan. Tapi tanpa dia sadari, air matanya menetes saat ia bercerita. Seringkali hal ini terjadi dalam kehidupan kita dan bagian ini menjelaskan tentang apa yang sering kita perbandingkan yakni antara otak vs hati ataupun pikiran vs perasaan — padahal itu adalah rational mind dan emotional mind, yang keduanya ada di dalam pikiran kita.
Sebenarnya kedua hal ini hampir selalu berjalan bersama, namun seringkali ada peristiwa dimana emotional mind mengontrol rational mind (Emotional Hijacking). Dijelaskan secara detail juga bagaimana sinyal yang dikirimkan Amygdala (bagian dari otak yang memproses emosi) “mengalahkan” Prefrontal-Cortex (bagian dari otak yang berperan dalam berpikir secara rasional, mengambil keputusan, dan self-control), yang akhirnya membuat kita mengambil keputusan secara lebih impulsif. Gue ingin bahas lebih banyak tentang Amygdala, mungkin nanti di postingan selanjutnya, gue akan review juga sebuah buku fiksi yang membahas tentang kehidupan seseorang yang mengalami gangguan pada Amygdala nya.
“Unlike sadness, anger is energizing, even exhilarating.”
“The train of angry thoughts that stokes anger is also potentially the key to one of the most powerful ways to defuse anger: undermining the convictions that are fueling the anger in the first place. The longer we ruminate about what has made us angry, the more “good reasons” and self justifications for being angry we can invent. Brooding fuels anger’s flames. But seeing things differently douses those flames. Reframing a situation more positively was one of the most potent ways to put anger to rest.”
“Giving vent to anger did little or nothing to dispel it (though, because of the seductive nature of anger, it may feel satisfying). Ventilating anger is one of the worst ways to cool down; outbursts of rage typically pump up the brain's arousal, leaving people more angry, not less.”
“How best to handle anger; Don’t suppress it. But don’t act on it.”
Ada 1 bagian khusus yang membahas tentang berbagai emosi manusia, salah satu yang paling menarik adalah Amarah. Walau sering dianggap sebagai emosi negatif, tapi orang merasa puas ( dan bahagia ) jika sudah mengeluarkan amarahnya. Buku ini menjelaskan cara untuk mengelola amarah kita dengan lebih baik.
Ruminasi sebenarnya adalah proses pencernaan yang terjadi pada hewan dimana hewan mengunyah kembali makanan yang sudah dikunyah untuk memecah bahan tanaman lebih lanjut dan untuk merangsang pencernaan . Namun ruminasi yang terjadi pada manusia adalah, memikirkan kembali lagi dan lagi tentang sebuah peristiwa dan merangsang kembali emosi yang diakibatkan dari peristiwa tersebut. Lebih spesifik terkait amarah, berulang kali membahas tentang peristiwa yang membuat kita marah, tanpa berusaha untuk melihat dari perspektif yang berbeda, justru malah membuat rasa amarah itu semakin berapi-api, terlebih jika semakin banyak validasi yang diterima dari sekitar. Kalau bahasa sehari-harinya, amarah sangat mudah untuk “dikompori”. Rasanya semakin senang jika banyak orang yang memvalidasi amarah kita, padahal lebih baik kita bercerita kepada orang yang justru bisa membantu kita melihat peristiwa tersebut dari perspektif yang lain. Namun bukan berarti kita tidak boleh memiliki rasa amarah, tapi melupakannya dengan marah-marah yang tidak terkontrol tidak akan membuat amarah mereda, apalagi membuat emosi kita menjadi lebih baik.
“There is perhaps no physiological skill more fundamental than resisting impulses. It is the root of all emotional self control, since all emotions, by their very nature, lead to one or another impulse to act. How fundamental it is the ability to restrain the emotions and so delay impulses.”
Menurut gue, inti dari kecerdasan emosional, adalah kita bisa untuk mengambil jeda, sebelum memutuskan emosi apa yang kita berikan untuk merespon peristiwa itu. Jika tanpa kemampuan untuk mengambil jeda, kita akan menjadi pribadi yang reaktif, merespon sebuah peristiwa tanpa memikirkan resiko atau emosi lain yang diakibatkan dari respon kita tersebut.
“Boys and girls are taught very different lessons about handling emotions. Parents, in general, discuss emotions – with the exception of anger – more with their daughters than their sons. Girls are exposed to more information about emotions than are boys.”
“Girls develop facility with language more quickly than do boys, this leads them to be more experienced at articulating their feelings., and more skilled than boys at using words to explore and substitute for emotional reactions.”
“When girls play together, they do so in small, intimate groups, with an emphasis on minimizing hostility and maximizing cooperation, while boys' games are in larger groups with an emphasis on competition. …. Thus boys are threatened by anything that might challenge their independence, while girls are more threatened by a rupture in their relationship. …. Men are content to talk about 'things', while women seek emotional connections.”
“Women, on average, experience an entire range of emotions with greater intensity and more volatility than men – in this sense, women are more 'emotional' than men. All of this means that, in general, women come into a marriage groomed for the role of emotional manager, while men arrive with much less appreciation of the importance of this task for helping the relationship survive.”
“.. To complain about what they did, but not criticize them as a person or express contempt. Complaints are not attacks on character but rather a clear statement that particular action is distressing.”
Ada bagian dalam buku ini yang menjelaskan tentang bagaimana pria dan wanita dalam menempatkan emosi dalam sebuah hubungan. Ternyata hal ini dipengaruhi oleh perbedaan cara didik orang tua sejak kecil, serta perbedaan bagaimana hubungan pertemanan dibangun di antara pria dan wanita. Disini juga dijelaskan bagaimana cara memandang dan menyelesaikan konflik dengan cara berkomunikasi yang baik. Ah bagus banget, dan jadi relate dengan buku Attached yang sebelumnya pernah gue review juga di blog ini.
“Couples who were more emotionally competent in the marriage were also the most effective in helping their children with their emotional ups and downs.”
“Educators, long disturbed by schoolchildren’s lagging scores in math and reading, are realizing there is a different and more alarming deficiency : emotional illiteracy. And while laudable efforts are being made to raise academic standards, this new and troubling deficiency is not being addressed in the standard school curriculum.”
Bagian ini juga gak kalah menarik, tentang bagaimana pendidikan di keluarga atau sekolah yang kurang memberikan pendidikan emosional kepada seorang anak. Padahal, kesadaran orang tua dan guru akan pentingnya memberikan pendidikan emosional sejak kecil berperan sangat besar dalam membentuk kecerdasan emosional seorang anak.
Oke jujur harus di stop karena terlalu banyak insights yang gue dapatkan dari buku ini. I highly recommend you guys to read it by yourself. Se-daging itu! Happy reading and let me know what you are thinking!
No comments:
Post a Comment