Hi, Insight Seekers!
Buku yang akan gue review hari ini adalah salah satu buku yang menemani gue saat masa pandemi Covid, saat gue sedang banyak mempelajari gaya hidup minimalis. Gue merasa buku ini juga sedikit banyak ada irisannya dengan gaya hidup minimalis, yakni meminimalisir apa saja hal yang layak untuk mendapatkan energi dan waktu gue, dan apa saja hal yang ternyata, tidak perlu gue fikirkan sebegitunya. Buku ini memberikan banyak pelajaran, yang masih sangat gue aplikasikan hingga saat ini. Ditulis oleh Henry Mampiring , diawali tentang cerita tentang perjalanannya saat mengalami Major Depressive Disorder. Dalam proses terapi yang dilakukan dengan psikiater, Om Piring menemukan sebuah filosofi purba dalam sebuah buku yang dibacanya, yakni "How To Be a Stoic" karya Massimo Puglucci, yang akhirnya mengenalkannya pada Stoisisme, yang selanjutnya akan disebut Filosofi Teras.
Om Piring, yang dulu hidupnya penuh dengan kekhawatiran, merasa Filosofi Teras ini membantunya merasa lebih tenang, damai, stress, dan tidak mudah marah-marah. Dan jujur, itu adalah salah satu hal yang gue rasakan juga setelah mempelajari gaya hidup minimalis & Filosofi Teras ; lebih tenang & tidak mudah marah-marah. Saat buku ini diterbitkan, belum banyak buku berbahasa Indonesia yang menjelaskan tentang Filosofi Teras. Karena itu, Om Piring berharap buku ini bisa menjadi "gerbang" agar pembaca tertark untuk membaca lebih lanjut buku-buku terkait Filosofi Teras, seperti yang Om Piring baca sebelumnya.
Bagian awal buku ini membahas tentang Survei Khawatir Nasional yang Om Piring lakukan di tahun 2017, saat proses pembuatan buku ini. 63%, atau hampir dua dri tiga responden, merasa "lumayan khawatir/sangat khawatir" tentang hidupnya secara umum. Ternyata, peran menjadi orang tua dan keuangan menjadi sumber kekhawatiran yang relatif lebih tinggi dibanding relationship. Kondisi sosial politik juga menjadi salah satu sumber kekhawatiran tertinggi dari sisi eksternal. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan memiliki rasa khawatir , namun harus disadari juga bahwa banyak "biaya" yang dikeluarkan dari memiliki rasa khawatir yang berlebihan ; seperti menghabiskan energi pikiran, menghabiskan waktu & uang, serta mengganggu kesehatan mental.
Bagian berikutnya barulah menjelaskan tentang Filosofi Teras itu sendiri, serta nilai-nilai mendasar di dalamnya seperti Hidup Selaras dengan Alam dan Dikotomi Kendali. Bagian selanjutnya akan lebih mendetail tentang pengendalian Interpretasi dan Persepsi, serta Cara Memperkuat Mental, yang menjadi langkah awal jika ingin mengaplikasikan Fiosofi Teras. Setelah itu, Om Piring akan membawa pembaca ke pengaplikasian Filosofi Teras dalam kehidupan sehari-hari, seperti menjalin interaksi dengan sesama manusia, menguatkan diri sendiri saat menghadapi kesulitan, hingga mempersiapkan diri secara mental dalam menghadapi kematian. Bagian yang menjadi favorit gue pribadi adalah saat membahas pengaplikasian Filosofi Teras dalam cara orang tua mendidik anak. Untuk mengelaborasi lebih lanjut topik-topik yang menghubungkan Filosofi Teras dengan Ilmu Kedokteran dan Ilmu Psikologi, buku ini juga dilengkapi dengan hasil wawancara Om Piring dengan beberapa ahli dr. Andri, Sp.KJ, FAPM , sebagai Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa , kemudian Wiwit Puspitasari , seorang Psikolog Klinis Dewasa, dan Agstried Piethers , seorang Psikolog Anak dan Pendidikan. Dilengkapi dengan berbagai contoh kejadian dalam kehidupan sehari-hari, serta berbagai selipan humor ringan, Om Piring berhasil mengemas Stoisime, sebuah filosofi purba, menjadi topik yang menarik & mudah dimengerti. Tak heran, buku ini berhasil mendapat predikat Mega Best Seller dan mendapat penghargaan sebagai "Book of The Year" dari IMAPI di tahun 2019. Di tahun 2023 saja, buku ini sudah memasuki cetakan ke-50 dan terjual lebih dari 300.000 eksemplar.
Insight!
"Some things are up to us, some things are not up to us" -- Epicetus (Enchiridon)
"Stoisisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari hal-hal yang ada di bawah kendali kita. Dengan kata lain, kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari dalam. Sebaliknya, kita tidak bisa menggantungkan kebahagiaan dan kedamaian sejati kepada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, seperti perlakukan orang lain, opini orang lain, status dan popularitas (yang ditentukan orang lain), kekaayaan, dan lainnya adalah tidak rasional"
Inilah konsep utama dari Stoisisme yang dijelaskan di bawal buku ini, yakni tentang Dikotomi Kendali, bahwa ada hal-hal dalam hidup ini yang bisa kita kendalikan dan ada yang tidak. Filosofi Teras mengajarkan agar kita bisa lebih mengalokasikan energi dan perhatian kita untuk hal yang ada dalam kendali kita, seperti opini dan persepsi kita sendiri, dibandingkan dengan hal yang berada di luar kendali kita, seperti opini dan perlakukan orang lain. Namun jika sebagian besar merasa Dikotomi Kendali ini terlalu sederhana untuk realitas hidup, Filosofi Teras mengembangkannya menjadi Trikotomi Kendali, dimana ada hal yang bisa kita sepenuhnya dapat kita kendalikan, ada hal yang tidak bisa kita kendalikan, serta ada hal yang SEBAGIAN bisa kita kendalikan. Lantas bagaimana memisahkan sebagian yang bisa kita kendalikan dan sebagian yang tidak? Hal ini dapat dilakukan dengan memisahkan tujuan di dalam diri (internal goals), yang berada di dalam kendali kita, dan hasil eksternal (external outcome), yang tentunya, berada di luar kendali kita. Kita dapat menerapkan Trikotomi Kontrol dalam banyak hal di hidup kita, baik dalam melakukan usaha, mengembangkan karir, ataupun menjalin dengan hubungan dengan orang lain. Kita dapat sebenuhnya mengusahakan yang sebisa mungkin untuk tujuan dalam diri, dan bagaimana usaha kita dalam menggapainya, karena itu berada di bawah kendali kita. Namun, kita harus berserah untuk apapun hasilnya, karena itulah yang tidak bisa kita kendalikan.
"Dalam Filosofi Teras, dipisahkan antara apa yang bisa ditangkap oleh indra kita (impression) dan interpretasi/makna atas apa yang kita lihat dan dengar tersebut (representation). Kita sering kali gagal memisahkan keduanya. Kita seketika memberikan interpretasi/penilaian (value judgement) dan pemaknaan atas sebuah peristiwa yang dialami. Peristiwa itu sendiri hampir selalu netral, tapi kemudian menjadi "positif" atau "negatif" karena interpretasi dan makna yang kita berikan.
Sebuah ilustrasi sederhana, seorang Jawa Solo baru pertama kali bertemu dengan seorang Batak Medan. Secara budaya, seseorang yang berasal dari Batak Medan terkenal berbicara keras. Cara berbicara ini bagi diri sendirinya adalah netral, tetapi kalau dilihat dari perspektif si orang Jawa Solo, dia bisa menginterpretasi si orang Batak Medan sebagai "kasar" dan "pemarah", padahal keduanya tidak benar. "Bicara keras" adalah impression, fakta objektif yang bisa ditangkap indra, tetapi "kasar" adalah representation, sudah ada penilaian subjektf. "
Kalau kalian sudah membaca ulasan gue pada buku Merawat Luka Batin, pasti sudah sangat familiar dengan perbedaan antara peristiwa yang terjadi, dan perasaan kita dalam memaknai peristiwa tersebut. Hal yang sama juga dijelaskan dalam Filosofi Teras dimana kita harus bisa memisahkan antara impression dan interpretation. Biasakan untuk melatih membedakan 2 hal tersebut dengan memberikan jeda, untuk berfikir interpretasi atau makna apa yang sebaiknya kita berikan untuk perstiwa tersebut. Jeda ini lah yang dapat merubah interpretasi otomatis, yang seringkali berujung pada emosi negatif, menjadi interpretasi rasional, yang biasanya berujung pada emosi yang lebih positif. Karena interpretasi ini berada di bawah kendali kita, inilah yang membebabkan satu peristiwa yang sama dapat memberikan dua perasaan yang berbeda -- Apakah kita akan marah-marah, atau kita akan tenang dan santai dalam menghadapi suatu peristiwa, tergantung dari interpretasi yang kita berikan terhadap peristiwa tersebut.
"Dengan menyadari bahwa sesungguhnya tidak ada yang benar-benar istimewa dengan peristiwa hidup kita, baik dalam perspektif waktu (semua drama ini sudah pernah terjadi di masa lampau di seluruh dunia, dan akan terjadi lagi di masa depan), dan juga dalam perspektif seberapa pentingnya apa yang kita alami dibandingkan keseluruhan umat manusia dan hidup, maka jika kita rasional, kita tidak perlu lebay di semua situasi. "
Ah, bagian 'Melawan fenomena lebay' ini menurut gue sangat menarik untuk dibahas. Banyak kejadian di hidup ini yang kita seringkali terlalu 'lebay' menghadapinya. Percayalah, apapun yang terjadi dalam hidup kita, kita bukanlah satu-satunya orang yang pernah menghadapi hal itu. Ada seseorang di masa lalu, di sekitar kita, atau di bagian dunia yang lain, yang pernah menghadapi hal tersebut. Ada juga seseorang di masa depan yang mungkin mengalami hal itu. Lalu coba untuk melihat dari perspektif yang lebih luas, bahwa hal yang terjadi itu, hanyalah sebagian kecil dari kehidupan kita, yang mungkin dampaknya juga tidak sesignifikan itu dalam hidup kita. Dan yang tidak kalah menenangkan, ada waktunya semua akan terlupakan. Mungkin ada yang sebentar, mungkin juga ada yang butuh waktu lebih lama. Jadi, ya, sebenarnya tidak semua hal seistimewa itu sampai harus diberikan reaksi yang berlebihan.
"Ini adalah tips Stoisisme untuk memiliki mental yang lebih kuat -- yaitu tidak membesar-besarkan masalah dan segera fokus pada apa yang bisa dilakukan. Marcus Aurelus menyampaikan bahwa pada dasarnya hidup ini memang penuh dengan hal-hal gak enak, itu sudah fakta. Jika kita marah-marah untuk semua hal yang tidak enak dan tidak nyaman, itu sama konyolnya dengan seseorang yang mengunjungi bengkel tukang kayu dan heran kenapa banyak sampah kayu di situ. Life sucks, kata orang bule. Jika memang giliran kita untuk tertimpa masalah yang sepele, ya terima saja, gak penting juga untuk diperdebatkan eksitensinya."
"Tingkat perhatian kita harus sebanding dengan objek perhatian kita. Sebaiknya kami tidak memberikan kepada hal-hal remeh waktu lebih banyak dari selayaknya." - Macus Aurelius (Meditations)
Ini juga masih ada kaitannya dengan 'Fenomena Lebay', dimana tidak semua hal perlu kita berikan perhatian sebesar itu. Kita tidak perlu memberikan terlalu banyak energi dengan marah-marah, untuk hal-hal menyebalkan, yang sebenarnya tidak sepenting itu. Daripada menghabiskan energi dengan bertanya mengapa hal tersebut terjadi, mencari siapa yang salah, dan sebagainya, lebih baik kita fokus untuk mencari solusi sehingga bisa segera meninggalkan hal-hal menyebalkan tersebut.
"Stoisisme mengajarkan kita untuk tidak memberikan kuasa kepada orang lain untuk mengganggumu. Artinya, kuasa itu sudah ada di tangan kita. Perasaan terganggu oleh perilaku orang lain sepenuhnya terserah kita, dan kitalah yang menentukan mau memberi power itu ke orang lain atau tidak. Orang lain tidak bisa membuat kita merasa terganggu jika kita tidak mengizinkannya."
"Untuk bisa sungguh terjadi 'penghinaan' , harus ada yang merasa terhina. Sebuah penghinaan sesungguhnya tidak efektif sampai objeknya merasa bahwa ia disakiti secara subjektif. Saat ini terjadi, maka penghinaan itu 'sukses'. Namun, jika sang objek tidak merasa terhina, hinaan itu sesungguhnya gagal total. Jika ada seseorang yang dihina dan merasa terhina, Epictetus akan menyalahkan si terhina, "Salah lo sendiri kalo tersinggung!" . Ini juga konsisten dengan pentingnya mengendalikan persepsi kita sendiri. Menghina ada di bawah kendali orang lain, merasa terhina ada di bawah kendali kita."
Persepektif yang menarik dan ada benarnya. Mungkin contoh dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat reaksi dua orang yang berbeda, terhadap suatu candaan yang sama. Seringkali, orang yang memberikan reaksi marah atau terganggu akan dianggap sekelilingnya sebagai orang yang 'baper-an', atau terlalu terbawa perasaan. Ya, mungkin itu juga yang akan dikatakan Epictetus. Dalam hidup ini, kita akan terus bertemu dengan orang yang mungkin kita anggap menyebalkan dan mengganggu kita, dan itu bukan hal yang bisa kita kendalikan. Mereka akan tetap menjadi orang yang menyebalkan dan terus mengganggu kita. Namun, yang bisa kita kendalikan adalah memilih untuk mengabaikan, merasa tidak terganggu, dan membiarkan apa yang orang tersebut lakukan menjadi sesuatu yang sia-sia.
"Perhatikan bahwa Pola 3P ini bukanlah fakta, tetapi murni konstruksi di dalam kepla kita sendiri. Mari kita mulai dengan Personalization. Kenyataannya, tidak semua masalah hidup disebabkan hanya oleh kita sendiri. Memang ada yang sepenuhnya salah kita sendiri, misalnya mengendarai kendaraan dalam keadaan mabuk dan kemudian menabrak orang lain, tetapi banyak juga yang sebenarnya di luar atau hanya sebagian di bawah kendali kita.
Di Persuasiveness, lagi-lagi kita memiliki perspektif yang keliru (baca: lebay!). Musibah/kegagalan di satu aspek hidup tidak otomatis berarti kegagalan di aspek hidup yang lain. Gagal di studi bukan berarti kita gagal menjadi anak yang baik. Gagal di percintaan bukan berarti kita juga gagal sebagai profesional, dan seterusnya.
Yang terakhir, Permanence. Rasa sedih, galau, kecawa yang dialami sekarang tidak otomatis masih akan dirasakan minggu depan, bulan depan, atau tahun depan. Memang ada kasus-kasus musibah/kesulitan yang menimbulkan luka psikologis yang lama efeknya, tetapi sebagian besar akan terasa lebih ringan seiring berjalannya waktu."
Dalam hidup ini, seberapa hebat, seberapa kaya, atau seberapa berhasil pun kita, pasti akan selalu ada kesulitan atau kegagalan yang terjadi. Sebagai orang dewasa, tentunya kita harus terbiasa dalam menghadapi hal-hal tersebut. Filosofi Teras memberikan contoh pola pikir destruktif 3P yang menghambat kita pulih dari sebuah kesulitan atau musibah. Dengan belajar menghilangkan pola pikir 3P ini, kita akan lebih mudah untuk menganggap suatu kegagalan, sebagai hal yang biasa terjadi dalam hidup. Sesekali, ada musibah yang mungkin terjadi diluar kendali kita dan tidak bisa kita hindari. Sesekali, ada kegagalan yang terjadi, namun ada banyak keberhasilan juga yang terjadi. Sesekali, ada kesulitan yang terjadi, tapi kita percaya, di bulan selanjutnya kita dengan mudah akan menyelesaikannya.
"Jika kamu memutuskan untuk mencoba mempraktikkan Filosofi Teras saat menutup buku ini dan melangkah kembali ke hidup nyata, bersiaplah untuk menjalani berbagai tantangan. Tantangan bisa datang dari dalam diri sendiri (segala pikiran buruk, seperti keraguan, kecemasan, kekhawatiran, kemarahan), atau dari luar (perlakuan orang lain yang menurut kita tidak menyenangkan, atau sekedar kesialan kecil maupun musibah besar). Namun, ingatlah bahwa pikiran dan nalarmu sepenuhnya ada di kendalimu sendiri. Kamu, dan saya, akan mengalami kegagalan, jatuh, dan bangun, tetapi ingatlah makna prokopton/progessor, yaitu terus berusaha menjadi lebih baik. Di saat-saat ita gaga mengendalikan emosi atau hawa nafsu, atau kita telah memperlakukan orang lain dengan semesetinya, sepanjang kita segera sadar akan kesalahan itu, kita bisa mampu bangkit lagi dan berusaha lagi. Seterusnya, sampai akhir kita tiba."
Buku ini tidak akan memberikan cara agar hidup bebas dari tantangan tapi buku ini memberikan cara agar kita bisa lebih mudah & bijak dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Dalam hidup ini, seberapa banyak pun bekal yang telah kita siapkan, kita masih akan terus menjalani banyak gagal, banyak jatuh, tapi dengan memiliki pola pikir yang konstruktif dan mental yang kuat, kita juga menjalani banyak bangun dan bangkit.
Overall, menurut gue buku ini sangat layak mendapatkan banyak perhatian. Banyak hal gue pelajari dari buku ini dan bisa gue aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jujur, beberapa orang di sekitar gue menganggap gue adalah pribadi yang cukup tenang dan tidak reaktif dalam menghadapi suatu masalah, mungkin Filosofi Teras inilah salah satu dibaliknya. Apakah sudah ada yang membaca buku ini juga? Atau ada kah buku yang memberikan dampak cukup besar untuk kalian, seperti buku ini memberikan dampak cukup besar untuk gue pribadi? Boleh share di kolom komentar, ya! Happy reading and let me know what you're thinking!
No comments:
Post a Comment